Cahaya malam membias di wajah Deng Yan, menyapu lembut kulitnya yang pucat diterangi lampu-lampu jalan yang temaram. Ia berdiri diam, membeku di depan sebuah warung kecil yang tampak biasa di mata orang lain, namun bagi Deng Yan, tempat itu adalah pintu kenangan yang tak pernah benar-benar tertutup.
Tatapan matanya tajam, tapi tak menyimpan kemarahan, di balik sorotan sayu itu, ada beban yang berat, rasa bersalah yang sudah lama tertanam dan tak pernah bisa ditebus. Ia memandangi warung itu, tempat di mana sahabat masa kecilnya dulu sering duduk di samping ibunya, tertawa, bercerita, bermimpi.
Kini warung itu sunyi, seperti hati sang ibu yang tak lagi punya tempat bersandar. Kepergian putrinya bertahun lalu bukan sekadar kehilangan, itu luka yang terbuka, dan Deng Yan tahu, sebagian dari luka itu ada karena dirinya. Ia tidak bisa menyelamatkan sahabatnya. Ia tidak bisa mencegah tragedi itu.
Dan meski tak pernah diucapkan, ia tahu sang ibu menyalahkannya. Kadang dengan diam, kadang dengan tatapan yang menusuk lebih dalam dari kata-kata. Tapi Deng Yan tak pernah lari. Ia memilih menjadi polisi bukan karena ingin membuktikan apa pun, tapi karena ia butuh menebusnya dengan setiap kasus yang ia pecahkan, dengan setiap keadilan yang ia tegakkan, ia berharap bisa sedikit mengurangi rasa bersalah itu.
Namun malam ini, di hadapan warung yang masih menyimpan aroma masa lalu, Deng Yan kembali menjadi gadis kecil yang kehilangan satu-satunya sahabat sejatinya dan tidak ada lencana atau pelatihan kepolisian yang mampu menghapus perasaan itu.
"Kalau waktu bisa diulang... aku akan memilih untuk tidak pergi hari itu"
Deng Yan membatin dalam hati.
#SwordRose
#DilrabaDilmurat
Komentar
Posting Komentar